Contoh artikel yang menggunakan fungsi kutipan
Dewasa ini,
kenakalan remaja telah menjadi penyakit ganas di tengah-tengah masyarakat,
mengingat remaja merupakan bibit pemegang tampuk pemerintahan negara di masa
depan. Lebih parah, berbagai kasus kenakalan remaja tersinyalir telah
meresahkan masyarakat, semisal kasus pencurian, kasus asusila seperti free sex,
pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Oleh berbagai praktisi media bahkan para
pemerhati sosial hal ini telah banyak digubris dan dicari benang merahnya.
Hanya saja, sejauh ini usaha tersebut belum terlihat goal dan terkesan hanya
sebagai bahan berita di media massa dan diskursus oleh berbagai kalangan yang
belum ada realisasi khusus.
Sejatinya,
kenakalan semacam itu normal terjadi pada diri remaja karena pada masa itu
mereka sedang berada dalam masa transisi: anak menuju dewasa. Seperti pemikiran Emile Durkheim (dalam
Soerjono Soekanto, 1985: 73), perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam
batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Terkait dengan
kenakalan remaja, dalam bukunya yang berjudul “Rules of Sociological Method”
disebutkan bahwa dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena
tidak mungkin dihapusnya secara tuntas. Dengan demikian, perilaku dikatakan
normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat,
perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan dilihat pada suatu
perbuatan yang tidak disengaja. Namun, kontras dengan pemikiran tersebut,
kenyataan yang akhir-akhir ini terjadi adalah kenakalan remaja yang disengaja,
yakni dilakukan dengan kesadaran. Miris!
Pengaruh psikologis
Remaja,
seperti dikatakan di atas, yang merupakan masa transisi dari anak menuju
dewasa, memiliki potensi besar untuk melakukan hal-hal menyimpang dari kondisi
(baca: perilaku) normal. Seperti ada pergolakan dalam diri mereka untuk
melakukakan hal-hal yang berbeda dengan yang lain di sekelilingnya, hal-hal
yang dianggap normal oleh kebanyakan orang. Sependapat dengan hal itu, Becker
(dalam Soerjono Soekanto, 198: 86), mengatakan bahwa mereka yang menyimpang
mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal itu disebabkan karena setiap
manusia pada dasarnya pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi
tertentu. Sebaliknya, orang yang dianggap normal dapat menahan diri dari
dorongan-dorongan untuk menyimpang. Tak pelak, dorongan semacam itupun didasari
oleh berbagai hal, seperti motif untuk mencari sensasi, bahkan karena sifat
dasar remaja yang pada usia itu sedang
melalui tahap mengidentifikasi, semisal yang dilakukan dari tokoh idola atau
yang dianggapnya wah.
Lingkungan, Pembentuk Karakter Remaja
Selain
pengaruh psikologi, lingkungan pun memiliki pengaruh vital dalam pembentukan
karakter remaja yang selanjutnya akan diperankan dalam proses sosialisasinya
sebagai makhluk sosial, termasuk perannya untuk berbuat kenakalan atau tidak.
Seseorang dapat menjadi buruk atau jelek karena hidup dalam lingkungan yang
buruk (Eitzen, 1986:10). Lebih jauh dikritisi, kondisi semacam itu memungkinkan
seseorang (baca: remaja) melakukan penyimpangan karena lingkungan telah
mengalami disorganisasi sosial, sehingga nilai-nilai dan norma yang berlaku
telah lapuk atau seakan tinggal nama/ sebagai simbol. Dengan kata lain, sanksi
yang ada seolah sudah ‘tidak’ berlaku lagi.
Remaja
semacam itu yang oleh Kartini Kartono (1988: 93) disebut sebagai anak cacat sosial atau cacat mental
sebenarnya sudah mengalami demoralisasi atau pemerosotan gradasi moral. Selain
karena kondisi sosial di atas, kondisi keluarga pun sangat menentukan, terutama
proses pendidikan dari orang tua sebagai upaya pembentukan karakter (character
building) anak.
Sebagai bukti, Masngudin HMS, dalam sebuah penelitiannya
tentang hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat
kenakalan di Pondok Pinang, Jakarta, menyebutkan bahwa salah satu sebab
kenakalan adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Dari 30 koresponden, mereka
yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3
responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak
memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari data seluruh responden
yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus
dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus.
Terkait
dengan pembentukan karakter, penelitian itu pun cukup menjadi bukti vitalitas
pendidikan keluarga. Keluarga yang represif (selalu memberikan hukuman) dan
otoriter akan cenderung membentuk sifat yang keras pada pribadi anak sehingga
mereka lebih berpotensi untuk ‘agresif’, atau sebaliknya bagi psikis mereka
yang tidak kuat atas bentuk didikan orang tuanya akan menjadikan sifat ‘lembek’
atau lemah. Ini berbeda dengan bentuk prefentif atau pemberian nasehat dan
pujian, bahkan pemberian kesempatan bagi remaja untuk mencurahkan gagasannya.
Mereka akan terbentuk menjadi pribadi yang cenderung dapat menghargai orang
lain, dan berbagai perilaku yang lebih jauh dari bentuk penyimpangan.
Sebuah
tulisan menarik, Samuel Smiles (1887) mencatat dalam bukunya Life and Labor:
tanamkan pemikiran, dan kamu akan memanen tindakan. Tanamkan tindakan, dan kamu
akan memanen kebiasaan. Tanamkan kebiasaan, dan kamu akan meraih karakter.
Tanamkan karakter dan kamu akan memanen tujuan. Beranjak dari kata bijak itu,
karakter merupakan modal awal dari hasil interaksi seseorang, termasuk remaja,
untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan ketenangan kelak. Sayangnya,
pembentukan tersebut belum sepenuhnya diterapkan di sejumlah banyak keluarga,
terlihat dari proses pendidikan yang terkesan memanjakan anak, bahkan
pendidikan yang termanjakan oleh kemajuan zaman (baca: globalisasi).
Ya, ternyata karakter remaja dan ujung-ujungnya berbagai
kasus kenakalan pun tak jauh-jauh dari globalisasi, terutama di bidang
teknologi, serta westernisasi (budaya kebarat-baratan). Belum lama, seperti
yang sudah dikoar-koarkan berbagai media, kasus smack down yang sempat memiliki
rating tinggi dalam tayangan televisi di Indonesia telah mengambil posisi
tersendiri di kalangan anak/ remaja. Mereka dengan serta merta mempraktekan
adegan semacam itu yang pada akhirnya menjadikan suatu bentuk kriminalitas
remaja.
Selain itu, berbagai adegan pornografi
di televisi mulai dari kasus ringan-berat pun telah menjadi bentuk pendidikan
nilai-nilai yang tidak sepantasnya dilakukan terhadap remaja. Mereka yang
sebenarnya membutuhkan asupan gizi semisal berupa tontonan yang mendidik yang
mencerminkan insan cendekia, intelek, atau akademis, telah diracuni dengan
berbagai adegan pacaran bahkan bentuk kegiatan seksual yang lebih jauh/
parah. Bidikan semacam itu rupanya
sangat ampuk membangun karakter tempe setiap anak/ remaja.
Sekretaris
tetap dalam Kementrian Luar Negeri Singapura, Kishore Mahbubani (dalam John
Naisbitt dalam bukunya yang berjudul “Megatrends Asia),” mengimbau Barat untuk
tidak lagi “meng-kuliah-i” orang-orang Asia karena Barat tidak memiliki
kualifikasi moral (moral standing) untuk memberitahu orang lain apa yang harus
dilakukan. Ia menganggap bahwa masyarakat Barat telah kacau. Ini seyogyanya
menjadi dasar agar masyarakat tidak lagi mendewakan Barat sebagai patokan dalam
pergaulan (terutama bagi remaja). Dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa sebenarnya
budaya di atas adalah budaya yang banyak dipengaaruhi oleh Barat yang dalam hal
tertentu sebenarnya sangat kurang memuat nilai-nilai ketimuran. Yaitu yang
kurang memuat nilai etika dan unggah-ungguh (kesopanan-Jawa).
Menanggapi
polemik tersebut, seyogyanya harus ada penanganan serius dan berkesinambungan
oleh berbagai elemen masyarakat. Pertama, orangtua harus selalu mengembangkan
karakter (character building) anak, yakni membangun jiwa anak dengan tabiat/
sifat-sifat yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Pentingnya peran keluarga
dalam mendidik nilai-nilai anak sejak dini menjadikan orangtua harus dapat
menjadi sang maestrobuah jatuh tak jauh dari pohonnya. Singkatnya, orangtua pun
harus memiliki sifat yang baik pula.
yang dapat dijadikan teladan oleh anak. Ingat sepenggal peribahasa,
Kedua, sekolah yang kini ibaratnya menjadi rumah kedua bagi
anak harus mampu menciptakan kultur sekolah yang relevan dengan perkembangan
psikis remaja: kultur yang penuh dengan pembentukan karakter positif. Misalnya,
pendidikan nir-kekerasan, serta berbagai keculasan semisal menghindarkan murid
pada budaya mencontek yang juga merupakan salah saatu bentuk kenakalan remaja
bertaraf ringan. Penghargaan terhadap prestasi siswa pun sangat diperlukan
untuk menumbuhkan etos juang, semisal ucapan terima kasih atau pemberian
pujian, serta bentuk pembelajaran tanggung jawab semisal minta maaf baik oleh
siswa maupun guru apabila melakukan suatu kesalahan. Dan ini oleh Jepang pun
telah lama ditumbuhkan pada pribadi siswa.
Selain itu,
pendidikan etika/ moral pun harus tetap diupayakan secara teoritis. Pendidikan
pancasila/ kewarganegaraan dan agama yang memuat nilai-nilai moral saat ini
terkesan mulai ditinggalkan karena sejumlah banyak siswa lebih tertarik untuk
mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu eksak ataupun sosial. Inilah tugas guru
yang bersangkutan atau pihak kurikulum untuk menjadikan mata pelajaran tersebut
menarik lagi di mata siswa dan dapat dijadikan ramuan jiwa yang mujarab dalam
pembentukan karakternya.
Terakhir, bersama semua pihak, termasuk pemerintah dalam hal
penanganan kenakalan remaja dan berbagai kebijakannya, semoga kenakalan remaja
tidak semakin menjadi, cukup menjadi kenakalan yang normal pada diri remaja
dalam ‘menikmati’ masa remajanya karena seorang filsuf, Kahlil Gibran pun
mengatakan bahwa anak-anak memiliki generasi dan dunianya sendiri. Semoga
remaja Indonesia tumbuh menjadi remaja yang kelak mampu mempersembahkan
kejayaan dengan karakter yang baik sehingga nama Indonesia pun tersiar
kepenjuru dunia bak kasturi. Tabik
sumber: http://xfqjcbx.tumblr.com/post/1292497277/artikel-tentang-kenakalan-remaja